JDIHN – Mahkamah Agung Republik Indonesia kembali menunjukkan komitmen kuatnya dalam menghadirkan sistem peradilan yang lebih adil dan humanis melalui kegiatan sosialisasi PERMA Nomor 1 Tahun 2024 yang diselenggarakan di Semarang. Acara ini menjadi momentum penting dalam memperkenalkan pedoman baru bagi para hakim dalam mengadili perkara pidana berdasarkan prinsip keadilan restoratif.
Kegiatan ini bukan sekadar acara seremonial, melainkan bagian dari perubahan besar dalam wajah peradilan pidana di Indonesia. Mahkamah Agung berupaya memastikan bahwa penerapan keadilan tidak hanya terfokus pada penghukuman, tetapi juga pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Latar Belakang Terbitnya PERMA Nomor 1 Tahun 2024
PERMA Nomor 1 Tahun 2024 lahir dari kebutuhan untuk menghadirkan sistem peradilan yang lebih efektif, efisien, dan manusiawi. Selama bertahun-tahun, sistem hukum Indonesia didominasi oleh pendekatan retributif — di mana pelaku kejahatan dihukum semata-mata sebagai bentuk pembalasan.
Namun, pendekatan tersebut sering kali mengabaikan sisi kemanusiaan dan kebutuhan korban untuk dipulihkan. Di sinilah keadilan restoratif menjadi solusi. Melalui PERMA ini, Mahkamah Agung menetapkan pedoman baru yang mengutamakan penyelesaian perkara pidana dengan memperhatikan keseimbangan antara hak korban, tanggung jawab pelaku, dan kepentingan masyarakat.
Tujuan Sosialisasi di Semarang
Sosialisasi yang digelar di Semarang bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam kepada para hakim dan aparat penegak hukum tentang implementasi teknis PERMA Nomor 1 Tahun 2024.
Selain membahas isi regulasi, kegiatan ini juga menjadi forum diskusi untuk menyamakan persepsi antara hakim, jaksa, panitera, dan akademisi. Dengan demikian, diharapkan seluruh aparat pengadilan dapat menerapkan prinsip keadilan restoratif secara konsisten dan proporsional di setiap perkara.
Melalui kegiatan sosialisasi ini, Mahkamah Agung juga ingin menegaskan bahwa peran hakim bukan hanya sebagai pemberi hukuman, tetapi juga sebagai fasilitator perdamaian dan pemulihan sosial.
Isi Pokok PERMA Nomor 1 Tahun 2024
Secara garis besar, PERMA Nomor 1 Tahun 2024 mengatur beberapa poin penting yang menjadi pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara pidana:
-
Hakim dapat menggunakan pendekatan keadilan restoratif dalam perkara pidana tertentu, terutama untuk kasus ringan, tindak pidana anak, atau perkara yang masih memungkinkan perdamaian antara pelaku dan korban.
-
Pendekatan restoratif tidak berlaku untuk semua kasus. Misalnya, perkara yang melibatkan kekerasan berat, kejahatan terhadap nyawa, atau kasus yang korban dan pelakunya memiliki ketimpangan kekuasaan.
-
Tujuan utama PERMA ini bukan sekadar memberikan hukuman, tetapi mendorong pertanggungjawaban pelaku secara sukarela serta memulihkan kerugian korban dan ketentraman sosial masyarakat.
Dengan demikian, PERMA 1/2024 menegaskan bahwa hukum pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium), bukan langkah pertama.
Manfaat dan Dampak Positif bagi Sistem Peradilan
Sosialisasi PERMA Nomor 1 Tahun 2024 membawa banyak manfaat strategis bagi sistem peradilan di Indonesia, antara lain:
-
Efisiensi penanganan perkara. Dengan mengedepankan penyelesaian damai, beban perkara di pengadilan bisa dikurangi.
-
Peningkatan kepercayaan publik terhadap pengadilan. Pendekatan restoratif mencerminkan nilai kemanusiaan dan empati, sehingga meningkatkan citra positif lembaga peradilan.
-
Pemulihan bagi korban. Korban diberi ruang untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian perkara dan mendapatkan pemulihan atas kerugiannya.
-
Rehabilitasi bagi pelaku. Pelaku kejahatan diberi kesempatan untuk bertanggung jawab tanpa harus selalu menjalani hukuman penjara, selama memenuhi syarat yang ditetapkan hakim.
Tantangan dalam Penerapan PERMA 1 Tahun 2024
Meski membawa angin segar, penerapan keadilan restoratif tentu tidak tanpa tantangan. Beberapa hal yang menjadi perhatian Mahkamah Agung antara lain:
-
Perubahan paradigma aparat hukum. Diperlukan waktu dan pelatihan untuk mengubah pola pikir aparat penegak hukum dari pendekatan menghukum menjadi pendekatan memulihkan.
-
Keterbatasan sumber daya. Implementasi keadilan restoratif membutuhkan mediator, pendamping, dan perangkat administrasi khusus yang belum merata di seluruh daerah.
-
Kesesuaian perkara. Tidak semua kasus dapat diselesaikan secara restoratif, sehingga hakim harus bijak dalam menentukan perkara mana yang memenuhi kriteria.
-
Monitoring berkelanjutan. Evaluasi berkala diperlukan agar penerapan PERMA ini benar-benar berjalan sesuai tujuan dan tidak disalahgunakan.
Harapan dan Langkah Ke Depan
Melalui kegiatan sosialisasi PERMA Nomor 1 Tahun 2024 di Semarang, Mahkamah Agung berharap paradigma baru ini dapat segera diimplementasikan di seluruh pengadilan di Indonesia.
Langkah ke depan yang diharapkan adalah sinergi antara lembaga peradilan, kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan untuk mengintegrasikan keadilan restoratif dalam setiap tahapan penegakan hukum.
Selain itu, Mahkamah Agung juga akan terus melakukan pembinaan, bimbingan teknis, dan evaluasi untuk memastikan bahwa prinsip keadilan restoratif benar-benar menjadi bagian dari budaya hukum nasional.
Kesimpulan
Sosialisasi PERMA Nomor 1 Tahun 2024 di Semarang menjadi bukti nyata komitmen Mahkamah Agung dalam membangun sistem peradilan yang lebih adil, berimbang, dan berorientasi pada pemulihan.
Dengan pedoman ini, Mahkamah Agung berupaya menjembatani kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat secara seimbang. Implementasi keadilan restoratif diharapkan dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan menghadirkan wajah hukum Indonesia yang lebih manusiawi.
Kegiatan di Semarang menjadi langkah awal menuju perubahan besar — dari sistem peradilan yang menghukum menjadi sistem peradilan yang memulihkan.